Wanita dan “Negaranya”

Oleh: Qonita Rizki D

Wanita adalah tiang Negara. Adapun sebuah Negara akan baik apabila wanita-wanita di dalam Negara itu baik. Begitupun sebaliknya, Negara akan hancur apabila wanita-wanita dalam Negara tersebut tak menjalankan tugas yang semestinya. Wanita dan “Negaranya”, kata tersebut mengantarkan kita kepada pendidikan dan pemikiran politik praktis bagi seorang wanita. Padahal yang dimaksud “Negara” adalah mengenai peran wanita itu sendiri sebagai seorang muslimah, anak, istri, ibu dari anak-anaknya, ataupun menjadi pemimpin di masyarakatnya.

Kebanyakan dari kita telah dirasuki oleh pemikiran barat bahwa seorang wanita harus menuntut pendidikan yang sama dan pentingnya kesetaraan gender yang selalu di dengung-dengungkan oleh kaum feminis. Lalu apabila semua perlakuan dan  pekerjan sama dilakukan oleh seorang wanita atau pria, dimana letak istimewanya? Tentu hal ini sangat Continue reading “Wanita dan “Negaranya””

Neoliberalisme dan Pasar Tradisional

Mindset masyarakat pada umumnya terhadap Pasar Tradisional adalah pasar yang isinya kumpulan para pedagang menengah ke bawah (baca: kecil). Dalam konteks ini, sering disebut UMKM. Isu terhadap para pedagangpun sering dikaji dalam ilmu-ilmu sosial. Uniknya, ilmu ekonomi justru sangat sedikit menyentuh realitas kehidupan para pelaku ekonomi menengah ke bawah ini (mikro).

 Hal ini dibenarkan oleh guru besar Universitas Indonesia Prof. Sri Edi Swasono, yang mana beliau mengistilahkan fenomena ini dengan sebutan academic hegemony dan academic poverty. Beliau mengutarakan lebih lanjut bahwasannya academic hegemony ini merupakan penjajahan akademis melalui silabus-silabus atau teori-teori barat yang diterapkan dalam perkuliahan ilmu ekonomi. Sedangkan poverty hegemonic adalah dampak dari academic hegemony yang mana para pengajar atau dosen hanya mengikuti arus perkuliahan dan mengagung-agungkan teori barat saja tanpa pemahaman yang lebih mendalam terhadap realitas sosial. Padahal sejatinya teori-teori barat yang individualistik tidak relevan dengan realitas atau karakter bangsa Indonesia yang kolektif.

Menteri keuangan kita, Chatib Basri sebelum dilantik pernah mengatakan kepada Continue reading “Neoliberalisme dan Pasar Tradisional”

Kultwit: Nilai dalam Organisasi by @ganjaranggara

Image

suatu hari ada yang menanyakan, mas kenapa sih kita harus punya nilai yang dibawa dalam organisasi?


 

memang nilai seperti apa yang harus di perjuangkan?

 


akhirnya ketika pulang pun sya berusha berfikir keras apa yg bnr benar bisa saya jawab agar jawabannya sesuai dngn keinginan yang menanyakan


1. Ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta, dan ini yang di kronologiskan antara nilai dan organisasi

 


2. organisasi tanpa nilai itu krumunan tak berguna, dan nilai tanpa organisasi bagai ada mobil namun tak ada jalan raya

 


3. Nilai sangatlah penting dibentuk untuk dapat menarik dan membandingkan produk kita dengan produk para kompetitor kita

 


4.Nilai bukan hanya berupa perhitungan angka, nilai juga dapat berupa tatapan pertama pada sebuah organisasi

 


5. dengan NILAI yang membuat produk kita pantas mendapatkan hasil lebih dari yang lain.

 


5 hal itu yang menjadi dasar ketika harus ditnyakan ttg nilai, lalu jikalau masih ada yang menanyakan ttg nilai,

 


urgensi pentingnya nilai ini untuk menentukan arah gerak dan cara bertindak

 


nilai adalah HAL UTAMA dalam organisasi, dan jika ada yang masih tabu yg mempermasalahkan nilai,tak usahlah berorganisasi

 


karena setiap organisasi pasti akan mmbawa nilai, dan nilai baik yang dibentuk oleh para pembuat awal organisasi ini yang harus diprtahankan

MEDIA DAN MAHASISWA

Media yang Menggila

Salah satu prasyarat negara yang demokratis adalah adanya pers yang bebas. Bebas dalam hal ini berarti tidak terikat dengan salah satu pihak manapun dan dalam penulisannya menggunakan teknik jurnalistik yang presisi. Itu hanyalah sebuah teori, namun jika kita tarik dalam kondisi politik masa kini, bahkan Amerika sebagai negara yang melahirkan konsep demokrasi dan Swedia sebagai negara yang mendapatkan status negara paling demokratis di dunia pun belum tentu bisa menerapkan bagaimana seharusnya menempatkan media dalam proses berdemokrasi. Salah satu contoh yang paling jelas adalah bagaimana kemampuan Obama memenangkan pemilihan presiden Amerika dengan memaksimalkan media. Dalam konteks ini saya tidak membahas seberapa pintar dan kreatifnya tim sukses Obama, namun saya lebih menekankan bagaimana pengaruh media dalam memberitakan ‘citra’ Obama. Media dalam hal ini sangat berperan dalam melakukan rekayasa persetujuan. Obama yang pada awalnya mendapatkan citra ‘asing’ dalam perpolitikan Amerika, secara perlahan media dapat merubah hal tersebut menjadi ‘unik’. Sehingga menimbulkan kesan berbeda yang lebih positif terhadap masyarakat Amerika. Hal tersebut sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Chomsky, bahwa media massa dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh dalam perebutan makna, siapa yang berhasil membangun citra (image) akan mendapat legitimasi publik seperti yang mereka inginkan atau sebaliknya.

Apa yang pernah terjadi di Amerika, mungkin saat ini sedang terjadi di Indonesia. Dalam kontes pemelihan anggota legislatif beberapa waktu yang lalu, kita telah melihat beberapa fakta yang cukup jelas betapa kuatnya peran media dalam perpolitikan Indonesia. Pemberitaan yang tidak berimbang, pengarahan opini masyarakat bahkan sampai penjatuhan lawan politik merupakan beberapa fakta bahwa media saat ini bukan lagi sebagai alat kontroling dalam proses demokrasi. Media telah berubah fungsi menjadi ‘senjata’ yang dimiliki para politisi untuk dapat mengontrol pikiran publik. Terlebih lagi, saat ini beberapa elit partai di Indonesia merupakan pemilik beberapa media yang ada di Indonesia, baik itu media elektronik maupun media cetak. Hal tersebut merupakan sebuah ancaman yang nyata bagi masyarakat Indonesia. Dan seandainya para pemilik media tersebut dapat memenangkan kontes politik pada 2014 ini, akan muncul sebuah kondisi dimana negara ini terkesan ‘akan baik-baik saja’, tentunya dengan segala mekanisme rekayasa persetujuan yang dilakukan oleh media. Suka atau tidak suka, rakyat Indonesia akan menjadi ‘pemirsa demokrasi’ yang sudah terkondisikan jalan pikirannya melalui pemberitaan media. Jika beberapa tokoh politik menyetakan bahwa Indonesia saat ini dalam proses pembelajaran demokrasi, maka permasalahan politik media saat ini akan membawa Indonesia pada kondisi yang lebih buruk dan menjauhkan kita dari demokrasi yang sehat. Bayangkan saja jika 4 pilar demokrasi di Indonesia berasal dari satu tubuh yang sama, maka yang mempunyai kekuasaan untuk menggerakan adalah si pemilik tubuh tersebut, dan hal itu tentunya akan merusak tatanan demokrasi di Indonesia.

 

Politik Media, Momentum Kebangkitan Mahasiswa

Dalam teori demokrasi progresifnya, Lippman meyatakan bahwa dalam sebuah demokrasi, selalu ada 2 kelas dalam masyarakat. Pertama, mereka adalah para ahli, dimana merekalah yang menganalisa, menjalankan dan memutuskan kebijakan. Mereka secara presentasi hanya sedikit. Yang kedua, kelompok lain, yaitu kelompok mayoritas yang mengikuti apapun kebijakan yang ditatpkan oleh para ahli, Lippman menyebutkan kelompok ini sebagai ‘kawanan pandir’. Jika dibahasakan secara sederhana, kelompok ahli tersebut merupakan pejabat/ pemerintah yang berkuasa dan kelompok lain ialah rakyat dari pemerintah yang berkuasa.

Dalam demokrasi yang sehat, kekuasaan yang sesungguhnya ada di tangan rakyat, pemerintah hanyalah sebagai alat untuk menjalankan fungsi dari keinginan rakyat. Namun, dalam kondisi demokrasi yang terjadi saat ini, kekuasaan yang sesungguhnya benar-benar ada di tangan para ahli atau pemerintahan yang berkuasa. Terlebih jika media yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat, kini berubah haluan menjadi senjata penguasa untuk mengontrol pikiran rakyat.

Kondisi yang saya paparkan sebelumnya saat ini memang benar-benar sedang terjadi di Indonesia, dan saat ini kita pun sedang menikmatinya. Jika kedepannya kondisis tersebut terus berlanjut di negara kita, maka salah satu alternatifnya adalah bagaimana kita dapat menghidupkan kembali gerakan mahasiswa yang saat ini mulai melemah. Seperti yang kita kenal selama ini, mahasiswa merupakan kaum intelektual yang keberadaannya dapat menjangkau penguasa (pemerintah) dan dapat pula menjangkau masyarakat. Mahasiswa harus mulai membangkitkkan kembali budaya diskusi, menumbuhkan budaya peduli dan menegaskan kembali fungsinya sebagai kontrol sosial dan agen perubahan.

Mahasiswa harus mengisi kekosongan yang terjadi dalam mekanisme kontrol terhadap penguasa. Jangan sampai mahasiswa terjebak dalam perangakap individualisme dan budaya persaingan yang berujung pada saling menjatuhkan satu sama lain. Mahasiswa mendapatkan ilmu yang lebih, sehingga sudah sewajarnya mahasiswa memiliki tanggung jawab yang lebih. Jika politisasi dalam kebebesan media ini terus berlanjut dan mahasiswa tidak mampu mengisi kekosongan dalam mekanisme kontroling, maka cepat atau lambat negara ini akan menjadi negara boneka yang dikuasi oleh pemilik modal yang bermain dalam politik media. Mau tidak mau, suka atau tidak suka mungkin jalan inilah yang harus kita tempuh.

 

Malang, 18 Mei 2014                                                                                    

 

Muhammad Rehza Pahlevi, S.IP

100% KAMMI dari Malang untuk Indonesia

ImageKesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) daerah Malang menggelar agenda spesial (19/4) dalam rangka milad KAMMI yang ke-16 dengan tema 100% KAMMI dari Malang Untuk Indonesia di Aula kelurahan Jatimulyo Malang. Acara tersebut berlangsung dengan dua agenda. Sesi pertama Sekolah Politik yang membahas Telaah Mihwar Gerakan KAMMI bersama Arif Susanto dari KP KAMMI Pusat. Yang di lanjutkan dengan SGD (small group discussion). Ada 6 fase dalam mihwar (fase) KAMMI Continue reading “100% KAMMI dari Malang untuk Indonesia”

Pengantar DisBar #1: UB Complex

Malang Panas.  karena UB macet.  UB Macet karena mahasiswa yang diterima terlalu banyak, padahal kebijakan menekan jumlah mahasiswa dengan metode spp yang beraneka ragam dari spp progresif hingga UKT, apalagi sekarang rektor baru, isunya akan mengurangi minat suatu jurusan di fakultas untuk menekan jumlah mahasiswa masuk

Kira-kira berapa banyak yang sadar akan hal-hal tersebut? Tidak usah jauh-jauh lah, berapa banyak teman jurusan yang geram cuma gara-gara hal disebut? Atau jangan-jangan hanya anda yang dijuluki sebagai seorang aktivis yang menyadarinya?

Kami tidak akan berlelah-lelah menuliskan tentang peran anda sebagai mahasiswa atau pemuda atau kaum apapun itu  dengan berbagai macam lapisan teori, karena tidak sedikit dari kita yang  tidak tahu menahu bagaimana mempraktekkannya. Cari saja mahasiswa mana yang tidak pernah ikut acara motivation training atau yang paling biasa adalah seminar-seminar, bahkan yang kerjanya hanya kuliah saja minimal mengikuti sekali saja kegiatan seperti itu dalam kehidupan indahnya di perkuliahan.

Dari masalah-masalah tersebut bisa dianalisa sebagai peluang, dan bisa saja  menjadi “wadah” pembentukan sebuah kedinamisan suatu individu atau lebih besar lagi yakni sebuah gerakan. Begitulah sunnatulloh. Jika dianalogikan sama halnya dengan hukum newton III, yakni jika ada aksi maka ada reaksi. Jadi dalam realita saat ini sang pemberi masalah dari pihak atau instansi apapun memberikan sebuah “aksi ”, dan para demonstran adalah reaktor yang memberikan reaksi terhadap kebijakan yang dianggap sebuah aksi “masalah”.

Berbagai macam permasalahan pelik yang ada disekitar kita, kadangkala patut disyukuri, khususnya bagi para aktivis yang menjuluki atau bahkan dijuluki sebagai pelantang kebenaran, sang muslim negarawan, dan para intelektual profetik, dan beberapa gerakan-gerakan lain. Mengapa patut disyukuri? Tentu saja, jika tidak ada masalah-masalah tersebut berarti sudah ada keseimbangan antara pihak-pihak terkait.  Wacana kota atau bahkan negara madani sudah tercapai, jika memang sudah tidak ada perlawanan lagi.

Kami akan membawa anda untuk menelaah berbagai masalah tersebut dalam kacamata sebagai seorang aktivis dakwah, yang bahkan disebutkan dalam Al-qur’an tentang seorang pemuda (baca surat Al-kahfi). Bahkan dalam buku-buku  bacaan yang sering ditugaskan anda dalam dauroh-dauroh yang acap kali dihadiri. Mulai dari kepahaman tentang akidah, kemudian ilmu dan akhirnya mampu merentas dinamika masyarakat nantinya. Namun Kita saat ini dilatih dalam sebuah miniatur negara yang disebut sebagai universitas.

Tidak perlu di deskripsikan sudah sebanyak apa masalah yang dihadapi oleh Indonesia, dan berapa banyak yang berkomentar tentang itu, namun hasilnya tetap sama bahkan lebih buruk. Walau agak sedikit bosan namun kami benar-benar menyaksikan sendiri saat ini, bahwa yang memberikan gejolak besar adalah mahasiswa-mahasiswa dengan keputusannya saat ini. Biarpun hanya angan-angan belaka, dan terkesan muluk-muluk, carilah teman sekelas saja yang memiliki itikad baik untuk mau mengubah negara kelak, dan bandingkan berapa banyak yang menertawakan sambil mengatakan “ Naggak usah ngimpi, Indonesia akan tetap seperti ini”.  Jika negara terkesan terlalu luas dan besar, akan saya spesifikkan pada sebuah instansi pendidikan yang ternyata juga cetakan-cetakannya yang akan mengguncang bumi Indonesia Ini.

Universitas Brawijaya merupakan Universitas besar, dan sangat popler semenjak tahun 2010. Universitas kita tercinta memiliki fluktuasi kedinamisan yang dikatakan sangat baik, sampai-sampai setiap tahun ada kebijakan yang bisa membuat siapapun menganga dan tertegun bingung. Mulai dari target penerimaan mahasiswa baru besar besaran, pembangunan yang semakin eningkat, dan biaya kuliah yang mengalahkan biaya kuliah universitas swasta.  Bahkan issue-issue saat ini pembagian beasiswa PPA-BBP dengan berbagai macam administrasinya. Jadi apakah hal tersebut salah?

Huznudannya adalah ketika ada wacana-wacana diatas dimaknai menjadi suatu hal yang baik semisal, penerimaan mahasiswa baru yang banyak bisa membantu keinginan mahasiswa daerah untuk mengenyam pendidikan lanjut, otomatis membutuhkan sedikit banyak ruang kelas dengan cara pembangunan gedung. Pembangunan gedung pun tidak akan berjalan dengan semestinya jika dana pembangunanan tidak ada sehingga dana yang terhimpun dari mahasiswa mampu digunakan untuk melakukan pembangunan, sehingga wajar saja berbagai metode pembayaran uang SPP bervariasi.

Sebaliknya jika kita berpikir agak kritis, itu semua hanya sebuah kamuflase untuk menyenangkan jasadi pribadi sang pemegang instansi. Berkebalikan dari perasangka baik tadi, dampak yang lebih buruk dirasakan oleh lingkungan disekitar Universitas Brawijaya. Sadar tidak sadar, arus lalu lintas yang terkesan agak “aneh” untuk ukuran sebah perkotaan, cari saja kota yang menerapkan hal tersebut, belum lagi kondisi presentase jembatan soekarno hatta yang saat ini mengalami penurunan akibat banyaknya kendaraan yang berlalu lalang. Logika penerimaan mahasiswa baru yang terlalu banyak akan banyak pihak  merasa diuntungkan dan dirugikan serta dirugikan , dan akan semakin banyak aksi pembenaran yang dilantangkan para aktivis.

Tidak usah dihitung berapa ratus kaliaksi yang menjunjung tinggi kebaikan dalam permasalahan ini. Bukan hanya satu pergerakan saja yang melakukan ini namun semua pergerakan yang ada dikampus. Aksi-aksi ini bisa jadi hal yang sangat menguntungkan bagi para pergerakan, karena akan menarik perhatian sebagian besar mahasiswa untuk konvensi pemira disetiap tahunnya. Menjadikan setiap kadernya berkualitas dengan berbagai macam hard dan softskill, dan agar mempermudah pengkaderan, dan akhirnya mencapai kekuasaan secara berkelanjutan.

Namun apakah KAMMI seperti itu? Apakah benar KAMMI adalah sebuah organisasi yang hanya haus akan kekuasaan? Apa yang membedakan KAMMI dengan pergerakan lain? Bagaimana metode mengatasi masalah yang di tawarkan anak-anak KAMMI?

Kami mengutip sebuah ucapan seorang aktivis kampus UB “ Kita bergerak hanya mencari ridho Alloh, kita bergerak untuk melawan kemungkaran, karena kemungkaran adalah thogut, dan thogut adalah hal-hal yang melalaikan kita untuk beribadah kepada Allah”. Sederhananya, KAMMI bukanlah gerakan yang hanya ingin menjunjung tinggi nilai keprofesionalan, namun lebih dari itu, ingin menciptakan individu-individu bermoral yang suatu saat akan mampu membawa kapal pesiar masing-masing menuju surga Allah.  Berbicara masalah kekuasaan, otomatis erat kaitannya dengan yang namanya organisasi, berjama’ah dan bersama-sama. Seorang individu memilih KAMMI berarti sudah siap untuk mampu memnajdi penggerak perubahan. Bukan berarti sombong tentang hakikat kebenaran yang diusung, namun sampai saat ini dan kapanpun standar kebenaran yang di lantangkan adalah SOP-SOP yang tercantum dalam kalam Allah. Bayangkan saja, sebuah kampus adalah kapal pesiar, dan dari kapal pesiar tersebut ada beberapa oknum yang ingin membocorkannya, apakah anda rela mengorbankan orang yang tidak bersalah untuk ikut tenggelam?