MEDIA DAN MAHASISWA

Media yang Menggila

Salah satu prasyarat negara yang demokratis adalah adanya pers yang bebas. Bebas dalam hal ini berarti tidak terikat dengan salah satu pihak manapun dan dalam penulisannya menggunakan teknik jurnalistik yang presisi. Itu hanyalah sebuah teori, namun jika kita tarik dalam kondisi politik masa kini, bahkan Amerika sebagai negara yang melahirkan konsep demokrasi dan Swedia sebagai negara yang mendapatkan status negara paling demokratis di dunia pun belum tentu bisa menerapkan bagaimana seharusnya menempatkan media dalam proses berdemokrasi. Salah satu contoh yang paling jelas adalah bagaimana kemampuan Obama memenangkan pemilihan presiden Amerika dengan memaksimalkan media. Dalam konteks ini saya tidak membahas seberapa pintar dan kreatifnya tim sukses Obama, namun saya lebih menekankan bagaimana pengaruh media dalam memberitakan ‘citra’ Obama. Media dalam hal ini sangat berperan dalam melakukan rekayasa persetujuan. Obama yang pada awalnya mendapatkan citra ‘asing’ dalam perpolitikan Amerika, secara perlahan media dapat merubah hal tersebut menjadi ‘unik’. Sehingga menimbulkan kesan berbeda yang lebih positif terhadap masyarakat Amerika. Hal tersebut sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Chomsky, bahwa media massa dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh dalam perebutan makna, siapa yang berhasil membangun citra (image) akan mendapat legitimasi publik seperti yang mereka inginkan atau sebaliknya.

Apa yang pernah terjadi di Amerika, mungkin saat ini sedang terjadi di Indonesia. Dalam kontes pemelihan anggota legislatif beberapa waktu yang lalu, kita telah melihat beberapa fakta yang cukup jelas betapa kuatnya peran media dalam perpolitikan Indonesia. Pemberitaan yang tidak berimbang, pengarahan opini masyarakat bahkan sampai penjatuhan lawan politik merupakan beberapa fakta bahwa media saat ini bukan lagi sebagai alat kontroling dalam proses demokrasi. Media telah berubah fungsi menjadi ‘senjata’ yang dimiliki para politisi untuk dapat mengontrol pikiran publik. Terlebih lagi, saat ini beberapa elit partai di Indonesia merupakan pemilik beberapa media yang ada di Indonesia, baik itu media elektronik maupun media cetak. Hal tersebut merupakan sebuah ancaman yang nyata bagi masyarakat Indonesia. Dan seandainya para pemilik media tersebut dapat memenangkan kontes politik pada 2014 ini, akan muncul sebuah kondisi dimana negara ini terkesan ‘akan baik-baik saja’, tentunya dengan segala mekanisme rekayasa persetujuan yang dilakukan oleh media. Suka atau tidak suka, rakyat Indonesia akan menjadi ‘pemirsa demokrasi’ yang sudah terkondisikan jalan pikirannya melalui pemberitaan media. Jika beberapa tokoh politik menyetakan bahwa Indonesia saat ini dalam proses pembelajaran demokrasi, maka permasalahan politik media saat ini akan membawa Indonesia pada kondisi yang lebih buruk dan menjauhkan kita dari demokrasi yang sehat. Bayangkan saja jika 4 pilar demokrasi di Indonesia berasal dari satu tubuh yang sama, maka yang mempunyai kekuasaan untuk menggerakan adalah si pemilik tubuh tersebut, dan hal itu tentunya akan merusak tatanan demokrasi di Indonesia.

 

Politik Media, Momentum Kebangkitan Mahasiswa

Dalam teori demokrasi progresifnya, Lippman meyatakan bahwa dalam sebuah demokrasi, selalu ada 2 kelas dalam masyarakat. Pertama, mereka adalah para ahli, dimana merekalah yang menganalisa, menjalankan dan memutuskan kebijakan. Mereka secara presentasi hanya sedikit. Yang kedua, kelompok lain, yaitu kelompok mayoritas yang mengikuti apapun kebijakan yang ditatpkan oleh para ahli, Lippman menyebutkan kelompok ini sebagai ‘kawanan pandir’. Jika dibahasakan secara sederhana, kelompok ahli tersebut merupakan pejabat/ pemerintah yang berkuasa dan kelompok lain ialah rakyat dari pemerintah yang berkuasa.

Dalam demokrasi yang sehat, kekuasaan yang sesungguhnya ada di tangan rakyat, pemerintah hanyalah sebagai alat untuk menjalankan fungsi dari keinginan rakyat. Namun, dalam kondisi demokrasi yang terjadi saat ini, kekuasaan yang sesungguhnya benar-benar ada di tangan para ahli atau pemerintahan yang berkuasa. Terlebih jika media yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat, kini berubah haluan menjadi senjata penguasa untuk mengontrol pikiran rakyat.

Kondisi yang saya paparkan sebelumnya saat ini memang benar-benar sedang terjadi di Indonesia, dan saat ini kita pun sedang menikmatinya. Jika kedepannya kondisis tersebut terus berlanjut di negara kita, maka salah satu alternatifnya adalah bagaimana kita dapat menghidupkan kembali gerakan mahasiswa yang saat ini mulai melemah. Seperti yang kita kenal selama ini, mahasiswa merupakan kaum intelektual yang keberadaannya dapat menjangkau penguasa (pemerintah) dan dapat pula menjangkau masyarakat. Mahasiswa harus mulai membangkitkkan kembali budaya diskusi, menumbuhkan budaya peduli dan menegaskan kembali fungsinya sebagai kontrol sosial dan agen perubahan.

Mahasiswa harus mengisi kekosongan yang terjadi dalam mekanisme kontrol terhadap penguasa. Jangan sampai mahasiswa terjebak dalam perangakap individualisme dan budaya persaingan yang berujung pada saling menjatuhkan satu sama lain. Mahasiswa mendapatkan ilmu yang lebih, sehingga sudah sewajarnya mahasiswa memiliki tanggung jawab yang lebih. Jika politisasi dalam kebebesan media ini terus berlanjut dan mahasiswa tidak mampu mengisi kekosongan dalam mekanisme kontroling, maka cepat atau lambat negara ini akan menjadi negara boneka yang dikuasi oleh pemilik modal yang bermain dalam politik media. Mau tidak mau, suka atau tidak suka mungkin jalan inilah yang harus kita tempuh.

 

Malang, 18 Mei 2014                                                                                    

 

Muhammad Rehza Pahlevi, S.IP

100% KAMMI dari Malang untuk Indonesia

ImageKesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) daerah Malang menggelar agenda spesial (19/4) dalam rangka milad KAMMI yang ke-16 dengan tema 100% KAMMI dari Malang Untuk Indonesia di Aula kelurahan Jatimulyo Malang. Acara tersebut berlangsung dengan dua agenda. Sesi pertama Sekolah Politik yang membahas Telaah Mihwar Gerakan KAMMI bersama Arif Susanto dari KP KAMMI Pusat. Yang di lanjutkan dengan SGD (small group discussion). Ada 6 fase dalam mihwar (fase) KAMMI Continue reading “100% KAMMI dari Malang untuk Indonesia”