OPINI PANDANGAN KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA KOMISARIAT UNIVERSITAS BRAWIJAYA TERHADAP KEKERASAN TERHADAP PEMUKA AGAMA

WhatsApp Image 2018-02-20 at 2.58.35 PM

 

 

“Teror Kekerasan Pemuka Agama”

Oleh :

Shofiyyatur Rosyidah[1]

Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan keyakinan. Hak ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Jaminan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat pada Instrumen HAM internasional dan peraturan perundang-undangan nasional. Kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapat jaminan untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Jaminan tersebut termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke 1 sampai dengan 4, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 :

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Pasal 28E ayat (2)  UUD NRI Tahun 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Cakupan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan merujuk pada Komentar Umum yang dikeluarkan oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB berkaitan dengan Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik, yaitu Komentar Umum Komite HAM No. 22. Komentar Umum No. 22 menyatakan bahwa :

”Hak atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama (yang termasuk kebebasan untuk menganut kepercayaan) dalam pasal 18.1 bersifat luas dan mendalam; hak ini mencakup kebebasan berpikir mengenai segala hal, kepercayaan pribadi, dan komitmen terhadap agama atau kepercayaan, baik yang dilakukan secara individual maupun bersama-sama dengan orang lain”.

Dengan demikian hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan pada dasarnya meliputi dua dimensi individual dan kolektif.

Dimensi individual tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan spiritual seseorang (forum internum) termasuk di dalam dimensi ini adalah memilih–mengganti, mengadopsi – dan memeluk agama dan keyakinan. Sedangkan dimensi kolektif tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan seseorang untuk mengeluarkan keberadaan spiritualnya dan mempertahankannya di depan publik (forum eksternum). Dengan kata lain Pasal 18 membedakan kebebasan berkeyakinan, dan beragama atau berkepercayaan dari kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya. Pembedaan ini secara legal sangat penting untuk membedakan di wilayah mana negara diperbolehkan untuk membatasi dan wilayah mana negara dilarang untuk melakukan pembatasan.

Salah satu bentuk kebebasan beragama dalam koridor forum eksternum adalah ekspresi beragama. Beragama diekspresikan melalui simbol agama. Pemuka agama merupakan bagian dari simbol agama dan bagian dari ekspresi beragama forum eksternum. Di Indonesia , peran pemuka agama masih sangat disegani. Pemuka agama masih benar-benar menjadi panutan umatnya. Pemuka agama berperan sentral dalam menjalankan kebebasan beragama di Indonesia. Lebih dari itu, pemuka agama juga berperan dalam melakukan transformasi sosial terhadap masyarakat sekitarnya.

Meskipun telah mendapat jaminan secara konstitusional, Kovenan Hak Sipil dan Politik serta peraturan perundang-undangan dibawahnya, hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan belum sepenuhnya terjamin. Hal itu terbukti dengan pelaksanaan hak beragama dalam lingkup forum eksternum tercederai dengan tindakan kekerasan dan terror terhadap pemuka agama. Empat kasus penyerangan terhadap pemuka agama. Di antaranya persekusi biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin Legok, Tangerang, penyerangan Gereja Lidwina, Bedog, Sleman, dan kekerasan terhadap pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka Bandung, KH. Umar Basri, serta penganiayaan terhadap ulama sekaligus Pimpinan Pusat Persis, H.R. Prawoto hingga meninggal dunia. Yang terbaru, K.H. Hakam Mubarok, pernah menjabat sebagai Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan dan pengasuh Pondok Pesantren Karangasem, Paciran, Lamongan, Jawa Timur, tiba-tiba diserang orang tak dikenal, sampai jatuh tersungkur karena ulah pelakunya.

Menjadi tanda tanya di masyarakat karena banyak pelakunya divonis mengalami gangguan kejiwaan. Masyarakat menduga isu ini secara sistemik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari isu pilkada serentak 2018 dan menjelang tahun politik pemilihan presiden 2019. Persoalan tersebut perlu untuk diselidiki secara tuntas agar tidak menimbulkan isu dan polemik di masyarakat.

Kepolisian Republik Indonesia sebagai garda terdepan negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, belum mampu memenuhi kepercayaan publik. Hal itu dibuktikan dengan meluasnya isu yang simpang-siur sebagai akibat teror kekerasan kepada pemuka agama yang semakin tidak bisa dibendung. Penyelidikan kepolisian tidak mampu meredakan kecemasan dan kemarahan umat beragama sehingga mendorong timbulnya tindakan-tindakan perlindungan diri dan penjagaan keamanan diluar instansi yang berwenang. Negara perlu mengambil sikap untuk menjaga stabilitas nasional dari isu yang berpotensi mencederai kerukunan horizontal antar umat beragama. Terlebih lagi, Negara berkewajiban untuk melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan menghargai (to respect) hak beragama dan berkeyakinan dengan meminimalisir suasana kekerasan terhadap ekspresi beragama secara individual maupun publik.

Berkaitan dengan tindakan kekerasan pemuka agama, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat Universitas Brawijaya menyatakan sikap ;

  1. Mengecam keras tindakan kekerasan dalam bentuk apapun khususnya tindakan kekerasan terhadap pemuka agama.
  2. Mendesak kepolisian untuk melakukan transparansi penyelidikan yang dapat dipertanggung jawabkan kepada publik.
  3. Mendesak kepolisian untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat pasca kejadian kekerasan terhadap pemuka agama.
  4. Mendesak Negara untuk menjalankan kewajibannya dalam untuk melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill) dan menghargai (to respect) hak beragama dan berkeyakinan.
  5. Menyerukan kepada masyarakat dan kader KAMMI seluruh Indonesia khususnya, untuk mengecam kekerasan terhadap pemuka agama dan menjaga kerukunan kehidupan beragama.

 

[1] Kader KAMMI UB angkatan 2014, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Leave a comment