HARI TANI NASIONAL

“…perjuangan perombakan hukum agraria  nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangankekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing…”

(Pidato Pengantar Mr. Sadjarwo, Menteri Agraria RI, dalam Sidang DPRGR, 12 September 1960)

Pertanian merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian bangsa Indonesia. Data BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa hingga Februari 2014 mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, yakni sebesar 40.833.052 jiwa dari total 118.169.922 tenaga kerja, atau sebesar 34,55% dari total tenaga kerja Indonesia. Menurut data BPS pula, nilai PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari sektor pertanian pada triwulan II 2014 sebesar 368.277,10 miliar rupiah atau sebesar 14,85% dari total PDB Indonesia yang menempatkan sektor pertanian ada di peringkat kedua sebagai sektor penghasil PDB terbesar Indonesia di bawah industri manufaktur.

Pada saat krisis moneter tahun 1998, sektor pertanian adalah satu-satunya sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan, yakni sebesar 0,26%, yang menjadikan sektor pertanian sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor vital bagi perekonomian bangsa sehingga sektor pertanian perlu diperhatikan bahkan harus dibangun terlebih dahulu. Menurut Rahardjo (1990), ada dua alasan mengapa sektor pertanian harus dibangun terlebih dahulu: (1) Barang-barang hasil industri memerlukan dukungan daya beli masyarakat petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia, maka pendapatan mereka perlu ditingkatkan melalui pembangunan pertanian; (2) Industri juga membutuhkan bahan mentah yang berasal dari sektor pertanian dan karena itu produksi hasil pertanian menjadi basis bagi pertumbuhan industri itu sendiri.

Namun demikian, kontribusi sektor pertanian yang besar terhadap perekonomian Indonesia tidak sejalan dengan kondisi petani Indonesia. Kepala BPS, Suryamin, menyatakan bahwa jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian selama 10 tahun terakhir terus menurun akibat beberapa hal di antaranya alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian karena alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan pabrik dan perumahan. Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Witoro, mengatakan banyaknya petani beralih profesi disebabkan karena pemerintah tidak mendukung sehingga petani harus berusaha sendiri mulai dari pencarian lahan, pupuk, menghadapi kemungkinan gagal panen hingga penjualan hasil panen. Hal tersebut ditambahkannya membuat petani frustasi (VOA Indonesia, 2014).

24 September adalah Hari Tani Nasional. 24 September ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional setelah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan kemudian disahkan oleh Presiden RI Soekarno pada tanggal 24 September 1960. Ditetapkan kelahiran UUPA sebagai hari tani dengan pemikiran bahwa tanpa peletakan dasar keadilan bagi petani untuk menguasai sumber agraria, seperti tanah, air, dan kekayaan alam, mustahil ada kedaulatan petani (Pramono, 2010). Dasar pemikirian hukum agraria nasional adalah UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

54 tahun sudah berlalu, lahirnya UUPA yang diharapkan mampu menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani ternyata juga belum sepenuhnya mampu menggapai cita-cita tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian yang dilakukan BPS pada tahun 2013 terhadap sampel 418.000 rumah tangga, diperoleh rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian sebesar Rp 2,2 juta per bulan atau Rp 550.000 per kapita per bulan (asumsi rata-rata jumlah anggota rumah tangga empat orang). Rendahnya pendapatan tersebut disebabkan sebagian besar petani Indonesia adalah petani gurem, yakni petani dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar.

Pada tahun 2015, Indonesia akan menghadapi ASEAN Economics Community (AEC), yakni sebuah program kerja sama ekonomi di regional Asia Tenggara. Ketika AEC berlangsung, pajak impor akan dihapuskan. Hal ini sebenarnya dapat menjadi peluang jika petani-petani lokal mampu meningkatkan kualitas produknya sehingga mampu bersaing dengan produk-produk negara lainnya dan petani dapat mengekspor produknya dengan biaya yang lebih murah. Namun ini dapat menjadi bumerang jika petani-petani lokal dan masyarakat tidak siap menghadapinya. Pasar lokal bisa dibanjiri oleh produk impor dan petani-petani lokal hanya akan menjadi tamu di negeri sendiri jika masyarakat masih lebih memilih produk impor daripada produk lokal. Ironis memang, namun inilah kenyataannya. Kebijakan sudah dibuat dan masyarakat harus siap menghadapinya. Oleh karena itu, pada momentum Hari Tani Nasional ini, masyarakat harus mulai menyadari pentingnya mencintai produk lokal agar bangsa Indonesia tidak terjajah di negeri sendiri. Mari hargai para pahlawan pangan (baca: petani) Indonesia dengan mengkonsumsi dan mencintai produk lokal agar cita-cita para pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri yang mandiri dan BERDIKARI (berdiri di atas kaki sendiri) dapat tercapai.

Hidup Mahasiswa!

Hidup Rakyat Indonesia!

Hidup Pertanian Indonesia!

Malang, 24 September 2014

Presiden BEM Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya,

Reza Adi Pratama